Suku Polahi, Setengah Manusia Setengah Hewan

Written By bopuluh on Minggu, 05 Mei 2013 | 20.15

GORONTALO, KOMPAS.com - Kata "Polahi" bagi sebagian warga yang hidup di Gorontalo merupakan sebuah cerita yang diliputi dengan aroma mistis. Walaupun hampir sebagian besar orang Gorontalo mengenal kata itu, tetapi hanya sebagian kecil yang benar-benar tahu dengan keberadaan Polahi.

"Nyaris hampir mustahil untuk bertemu dengan Polahi Primitif, yang oleh tetua dulu digambarkan sebagai setengah manusia setengah hewan," ujar Fotografer Rosyid Asyar yang meminati kehidupan Polahi kepada Kompas.com pekan lalu.

Polahi adalah sebutan untuk sekelompok warga yang hingga kini masih hidup terisolasi di pedalaman hutan Gunung Boliyohuto yang meliputi daerah Paguyaman, Suwawa dan Sumalata di Provinsi Gorontalo.

Berbeda dengan suku-suku pedalaman lainnya di Indonesia, literar suku Polahi sangat minim. Ini karena sikap tertutup yang mereka tunjukkan sejak dulu. "Polahi takut jika bertemu dengan orang lain, biasanya mereka langsung lari," tambah Rosyid.

Tetapi, beberapa tahun belakangan ada sebagian kelompok Polahi yang sudah bisa hidup bersosial dengan warga lainnya, walaupun masih mempertahankan kebiasaan primitif mereka.

Salah satu kelompok yang bisa ditemui adalah keluarga Polahi yang hidup bermukim di pedalaman Hutan Humohulo pengunungan Boliyohuto, Paguyaman. Akses menuju ke pemukiman tersebut tidaklah mudah. Butuh waktu jalan kaki selama sekitar delapan jam dari Dusun Pilomohuta, Desa Bina Jaya, Kecamatan Paguyaman, Kabupaten Boalemo untuk mencapai rumah keluarga Polahi di sana.

"Inilah salah satu pintu masuk yang termudah kalau ingin mengunjungi mereka," ujar Kepala Dusun Pilomohuta, Udin Mole ketika menemani Kompas.com menyusuri jalan mendaki dan melewati tujuh sungai tersebut.

Di Desa Bina Jaya sebenarnya ada 11 keluarga Polahi yang terdata. Namun sejak kematian Kepala Suku mereka, Baba Manio sebulan yang lalu, keluarga ini lalu berpencar. Sebab bagi suku Polahi, jika ada satu anggota keluarga yang meninggal, maka mereka semua harus meninggalkan rumah dan pemukimannya, lalu mencari pemukiman baru.

"Dulunya Polahi hidup sangat nomaden. Mencari lahan untuk ditanami, dan setelah itu berpindah ke lahan yang baru. Nanti setelah waktu panen, baru mereka akan balik lagi. Nyaris mereka tidak punya tempat tinggal tetap," kata Rosyid.

Namun Polahi yang ditemui di pedalaman Hutan Humoholo sudah punya rumah tetap, walau masih terlihat sangat sederhana. Hanya terbuat dari papan sisa hasil para perambah hutan dengan atap dari daun kelapa dan daun rumbia.

Kini di hutan Humohulo ada sekeluarga Polahi yang merupakan keturunan Baba Manio yang kawin dengan istrinya Mama Tanio, yang tidak lain adalah saudaranya sendiri. Mereka hidup di dua rumah yang berbeda lokasi dengan jarak yang lumayan jauh.

Rumah pertama ditinggali Mama Tanio dengan anak mereka Babuta yang otomatis menjadi pimpinan sekarang. Babuta memperistri Lanio yang tidak lain anak dari ayahnya dengan seorang istri yang bernama Hasimah. Hasimah dengan keluarga lainnya tinggal di lokasi yang terpisah di hutan Tumba.

Di rumah utama ini, hidup anak-anak Mama Tanio serta anak-anak dari Babuta. Sementara rumah kedua ditinggali adik Mama Tanio yang hidup bersama anak lainnya dari Baba Manio yang bernama Laiya yang punya dua istri kakak beradik.

Kawin-mawin sesama saudara bagi Polahi adalah hal wajar. Ayah kawin dengan anak perempuannya, ibu kawin dengan anak laki-lakinya, serta kakak kawin dengan adiknya. "Kalau di kampung banyak orang, tetapi di sini hanya ada kita, jadi kawin saja," ujar Mama Tanio dalam bahasa Gorontalo berdialek khas dengan polosnya.

Keterisolasian mereka membuat praktek insect tersebut dianggap wajar. Polahi tidak mengenal agama. Mereka hanya menganut paham agama tradisional, yang percaya kepada alam. Polahi adalah warga yang termarginalkan dengan kebodohan mereka. Walau kini mereka sudah terbiasa pakai baju, namun pendidikan nyaris tidak pernah mereka rasakan.

"Dulu mereka tidak mengenal angka sama sekali. Tetapi sekarang karena sudah sering berinteraksi dengan warga lain, mereka telah mengenal uang," ujar Udin.

Pemerintah Gorontalo bukannya tidak pernah mencoba membawa mereka untuk hidup bersama masyarakat lainnya. Sebuah lokasi dekat dengan pemukiman warga di Dusun Pilomohuta pernah dibangun. "Ada sembilan Rumah Layak Huni (Mahayani) yang dibangun oleh pemerintah. Tapi mereka tinggalkan dan masuk hutan lagi," jelas Udin.

Mama Tanio menuturkan, mereka tidak bisa hidup di daerah panas. Tempat mereka adalah hutan. Alamlah yang memberi mereka makan. "Kalau mau beri kami rumah, bangun di hutan sini, kami tidak bisa tidur kalau di kampung," Mama Tanio memberi alasan.

Pendekatan yang tidak memperhatikan karakter kehidupan Polahi membuat sembilan rumah di lokasi Mahayani tersebut kosong, serta membuat Polahi terus termarginalkan. "Hanya kepala dusun yang pernah sampai di gunung ini, pemerintah lainnya tidak pernah datang. Kepala dusun yang selalu bawa bantuan baju dan makanan buat kami," aku Babuta.

Babuta menjelaskan, jika pemerintah ingin merubah kehidupan mereka, seharusnya tetap membiarkan mereka bersama dengan alam dan hutan yang sudah menjadi bagian dari kehidupan Polahi. "Leluhur kami mengingatkan jangan pernah tinggalkan hutan," tambah Babuta.

Kondisi Polahi yang ditemui di Hutan Humohulo paling tidak sedikit menepis cerita mistis yang melingkupi suku Polahi. Beberapa kebiasaan primitif memang masih menjadi bagian dari kehidupan mereka. Tetapi jika pendekatan yang tepat dilakukan, niscaya Polahi tidak lagi akan menjadi warga yang termarginalkan. 

Editor :

Glori K. Wadrianto


Anda sedang membaca artikel tentang

Suku Polahi, Setengah Manusia Setengah Hewan

Dengan url

http://civetcoffeedelicious.blogspot.com/2013/05/suku-polahi-setengah-manusia-setengah.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Suku Polahi, Setengah Manusia Setengah Hewan

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Suku Polahi, Setengah Manusia Setengah Hewan

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger