Fatwa Majelis Ulama Indonesia yang meyakinkan semua pihak bahwa kopi luwak halal dikonsumsi dengan syarat melalui proses penyucian terlebih dahulu (Kompas, 20/7) selayaknya direspons secara positif, cepat, dan produktif oleh para pelaku dan otoritas perkopian di Jawa Barat yang sedang gencar membudayakan kopi.
Permintaan kopi yang tinggi dan harganya yang selangit hendaknya bisa dimanfaatkan maksimal. Pertanyaannya, bagaimana menyiasati proses produksi kopi luwak agar hasilnya lebih tinggi?
Para pelaku menyadari bahwa memompa produksi kopi luwak bukanlah pekerjaan gampang. Cara alami jelas sulit diandalkan. Selain lamban dan produktivitasnya rendah, prosesnya sulit direkayasa. Akibatnya, kontinuitas pasokan tidak dapat dipastikan. Apalagi, populasi luwak di alam terbuka semakin berkurang. Meski demikian, melalui rekayasa dan inovasi, produksi kopi luwak berpeluang ditingkatkan, salah satunya melalui budidaya luwak.
Luwak (Paradoxurus hermaphrodite) atau careuh bulan dalam bahasa Sunda, oleh sebagian masyarakat pedesaan, masih dianggap hama. Binatang itu dianggap sebagai pemangsa ternak unggas (ayam, itik, bebek, dan burung). Selama ini pula konstruksi sosial tersebut mengubur sisi-sisi kelebihan luwak. Padahal, dalam hal pembenihan aren/kopi, peran luwak belum tertandingi oleh teknologi modern sekalipun.
Masyarakat juga mengakui bahwa luwak memiliki andil besar dalam penyebaran tanaman aren/kopi. Ironisnya, kini populasi luwak di alam semakin berkurang, baik karena perburuan maupun keterlambatan reproduksi akibat rusaknya habitat.
Budidaya luwak
Berbeda dengan biji aren yang tidak dikonsumsi, kopi luwak justru menjadi barang buruan. Harga kopi luwak luar biasa mahal. Di pasar internasional, harganya Rp 1 juta-Rp 3,5 juta per kilogram. Di Indonesia, kopi luwak kotor dihargai Rp 350.000 per kg, sementara produk olahan dan siap saji Rp 700.000 per kg dan Rp 900.000 per kg. Kopi luwak dihargai tinggi karena stoknya minim serta rasa dan aromanya unik.
Konsumen fanatik dan pebisnis kopi dunia mengakui bahwa kopi luwak belum ada bandingnya. Saking tingginya permintaan, untuk membeli dalam skala kiloan saja harus antre memesan (inden). Hal itu membuat harga kopi luwak tidak pernah terdengar turun. Harganya diyakini akan tetap tinggi meski terjadi lompatan produksi.
Bagi Jabar yang kini sedang gencar memacu produksi kopi arabika, terutama di Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Selatan, peluang pasar kopi luwak yang benderang sejatinya bisa dimaksimalkan. Syaratnya, metode produksi kopi luwak jangan hanya mengandalkan cara alami. Harus dilakukan pendekatan rekayasa, yakni membudidayakan luwak dan mengondusifkan kembali habitat alamiah luwak.
Membudidayakan luwak jelas bukan hal mudah. Reproduksinya membutuhkan keterampilan dan pengetahuan khusus. Apalagi, praktisi/ahli penangkaran luwak masih langka, termasuk di lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Selama ini produsen kopi luwak masih mengandalkan luwak tangkapan (hasil berburu) yang masih sangat sedikit.
Oleh karena itu, untuk reproduksi luwak dan akselerasi peningkatan produksi kopi luwak, diperlukan penyuluhan partisipatif budidaya dan penangkaran luwak di kalangan petani kopi di sentra-sentra produksi kopi. Penyuluhan dari ahli dan praktisi (petani berpengalaman) penting agar tidak terjadi monopoli penguasaan luwak dan produksi kopi luwak oleh pelaku tertentu. Hal itu juga dimaksudkan agar tingginya harga kopi luwak turut mendongkrak pendapatan petani kopi.
Selain itu, diperlukan upaya terpadu bagi pemulihan populasi luwak dan rehabilitasi habitat luwak di alam. Untuk itu, keberadaan modal sosial dan kebijakan untuk menjaga kelestarian luwak sangat diperlukan. Yang terpenting, kesadaran lingkungan masyarakat harus dikuatkan agar siasat peningkatan produksi kopi luwak tidak diikuti perburuan luwak liar secara besar-besaran dan perilaku menyimpang.
Komunitas petani kopi
Memacu produksi kopi luwak tentu tidak cukup dengan memperbanyak luwak, tetapi juga harus memerhatikan kebutuhan layak alami dan kesehatan luwak, mutu kopi, serta kebersihan lingkungannya. Hal itu dilakukan agar kopi luwak yang dihasilkan berkualitas, berkarakter alami, dan sesuai dengan kriteria pasar.
Untuk itu, dibutuhkan sinergi, koordinasi, dan partisipasi dari petani, otoritas perkebunan/kehutanan, praktisi penangkaran luwak, pendamping andal, otoritas peternakan, serta otoritas industri kreatif. Itu penting bagi pemberdayaan petani, rekayasa pembiakan dan pemeliharaan luwak, aplikasi teknologi produktif, dokumentasi proses, pengolahan/agroindustri kopi luwak, serta pengelolaan dan penguatan jejaring pemasaran kopi luwak.
Demi efisiensi margin dan keadilan keuntungan, sepantasnya pengolahan kopi luwak dilakukan oleh kelompok/komunitas petani kopi di sentra-sentra produksi kopi. Pengolahan dilakukan dengan teknologi yang terstandar, tepat guna, terjangkau, serta tidak memutus teknologi lokal dan ikatan kolektivitas para petani.
Harapannya, kuantitas dan kualitas produksi kopi luwak meningkat; populasi luwak, terutama yang ada di alam, terlindungi; hutan lestari; dan harga kopi luwak yang tinggi bisa dinikmati petani. Dengan demikian, membudidayakan luwak bukan hanya meningkatkan produksi kopi luwak, melainkan juga memberdayakan pelaku utamanya, yaitu petani kopi. IWAN SETIAWAN Dosen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Unpad
Permintaan kopi yang tinggi dan harganya yang selangit hendaknya bisa dimanfaatkan maksimal. Pertanyaannya, bagaimana menyiasati proses produksi kopi luwak agar hasilnya lebih tinggi?
Para pelaku menyadari bahwa memompa produksi kopi luwak bukanlah pekerjaan gampang. Cara alami jelas sulit diandalkan. Selain lamban dan produktivitasnya rendah, prosesnya sulit direkayasa. Akibatnya, kontinuitas pasokan tidak dapat dipastikan. Apalagi, populasi luwak di alam terbuka semakin berkurang. Meski demikian, melalui rekayasa dan inovasi, produksi kopi luwak berpeluang ditingkatkan, salah satunya melalui budidaya luwak.
Luwak (Paradoxurus hermaphrodite) atau careuh bulan dalam bahasa Sunda, oleh sebagian masyarakat pedesaan, masih dianggap hama. Binatang itu dianggap sebagai pemangsa ternak unggas (ayam, itik, bebek, dan burung). Selama ini pula konstruksi sosial tersebut mengubur sisi-sisi kelebihan luwak. Padahal, dalam hal pembenihan aren/kopi, peran luwak belum tertandingi oleh teknologi modern sekalipun.
Masyarakat juga mengakui bahwa luwak memiliki andil besar dalam penyebaran tanaman aren/kopi. Ironisnya, kini populasi luwak di alam semakin berkurang, baik karena perburuan maupun keterlambatan reproduksi akibat rusaknya habitat.
Budidaya luwak
Berbeda dengan biji aren yang tidak dikonsumsi, kopi luwak justru menjadi barang buruan. Harga kopi luwak luar biasa mahal. Di pasar internasional, harganya Rp 1 juta-Rp 3,5 juta per kilogram. Di Indonesia, kopi luwak kotor dihargai Rp 350.000 per kg, sementara produk olahan dan siap saji Rp 700.000 per kg dan Rp 900.000 per kg. Kopi luwak dihargai tinggi karena stoknya minim serta rasa dan aromanya unik.
Konsumen fanatik dan pebisnis kopi dunia mengakui bahwa kopi luwak belum ada bandingnya. Saking tingginya permintaan, untuk membeli dalam skala kiloan saja harus antre memesan (inden). Hal itu membuat harga kopi luwak tidak pernah terdengar turun. Harganya diyakini akan tetap tinggi meski terjadi lompatan produksi.
Bagi Jabar yang kini sedang gencar memacu produksi kopi arabika, terutama di Kesatuan Pemangkuan Hutan Bandung Selatan, peluang pasar kopi luwak yang benderang sejatinya bisa dimaksimalkan. Syaratnya, metode produksi kopi luwak jangan hanya mengandalkan cara alami. Harus dilakukan pendekatan rekayasa, yakni membudidayakan luwak dan mengondusifkan kembali habitat alamiah luwak.
Membudidayakan luwak jelas bukan hal mudah. Reproduksinya membutuhkan keterampilan dan pengetahuan khusus. Apalagi, praktisi/ahli penangkaran luwak masih langka, termasuk di lembaga penelitian dan perguruan tinggi. Selama ini produsen kopi luwak masih mengandalkan luwak tangkapan (hasil berburu) yang masih sangat sedikit.
Oleh karena itu, untuk reproduksi luwak dan akselerasi peningkatan produksi kopi luwak, diperlukan penyuluhan partisipatif budidaya dan penangkaran luwak di kalangan petani kopi di sentra-sentra produksi kopi. Penyuluhan dari ahli dan praktisi (petani berpengalaman) penting agar tidak terjadi monopoli penguasaan luwak dan produksi kopi luwak oleh pelaku tertentu. Hal itu juga dimaksudkan agar tingginya harga kopi luwak turut mendongkrak pendapatan petani kopi.
Selain itu, diperlukan upaya terpadu bagi pemulihan populasi luwak dan rehabilitasi habitat luwak di alam. Untuk itu, keberadaan modal sosial dan kebijakan untuk menjaga kelestarian luwak sangat diperlukan. Yang terpenting, kesadaran lingkungan masyarakat harus dikuatkan agar siasat peningkatan produksi kopi luwak tidak diikuti perburuan luwak liar secara besar-besaran dan perilaku menyimpang.
Komunitas petani kopi
Memacu produksi kopi luwak tentu tidak cukup dengan memperbanyak luwak, tetapi juga harus memerhatikan kebutuhan layak alami dan kesehatan luwak, mutu kopi, serta kebersihan lingkungannya. Hal itu dilakukan agar kopi luwak yang dihasilkan berkualitas, berkarakter alami, dan sesuai dengan kriteria pasar.
Untuk itu, dibutuhkan sinergi, koordinasi, dan partisipasi dari petani, otoritas perkebunan/kehutanan, praktisi penangkaran luwak, pendamping andal, otoritas peternakan, serta otoritas industri kreatif. Itu penting bagi pemberdayaan petani, rekayasa pembiakan dan pemeliharaan luwak, aplikasi teknologi produktif, dokumentasi proses, pengolahan/agroindustri kopi luwak, serta pengelolaan dan penguatan jejaring pemasaran kopi luwak.
Demi efisiensi margin dan keadilan keuntungan, sepantasnya pengolahan kopi luwak dilakukan oleh kelompok/komunitas petani kopi di sentra-sentra produksi kopi. Pengolahan dilakukan dengan teknologi yang terstandar, tepat guna, terjangkau, serta tidak memutus teknologi lokal dan ikatan kolektivitas para petani.
Harapannya, kuantitas dan kualitas produksi kopi luwak meningkat; populasi luwak, terutama yang ada di alam, terlindungi; hutan lestari; dan harga kopi luwak yang tinggi bisa dinikmati petani. Dengan demikian, membudidayakan luwak bukan hanya meningkatkan produksi kopi luwak, melainkan juga memberdayakan pelaku utamanya, yaitu petani kopi. IWAN SETIAWAN Dosen Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Unpad
Anda sedang membaca artikel tentang
Production deal Kopi Luwak
Dengan url
https://civetcoffeedelicious.blogspot.com/2011/07/production-deal-kopi-luwak.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Production deal Kopi Luwak
namun jangan lupa untuk meletakkan link
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar